Polda Jawa Barat (Jabar) telah menetapkan tujuh tersangka terkait perusakan sebuah rumah singgah yang digunakan untuk retret pelajar Kristen di Sukabumi. Kejadian ini menimbulkan kepanikan dan protes dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Insiden yang terjadi pada Jumat, 27 Juni 2025 ini, melibatkan sekelompok warga yang menduga rumah tersebut dijadikan tempat ibadah, sehingga mereka melakukan perusakan. Tindakan kekerasan ini menunjukkan adanya kesalahpahaman di masyarakat mengenai fungsi fasilitas yang sebenarnya.
Rincian Kasus Perusakan di Sukabumi
Perusakan terjadi di Kampung Tangkil, Kecamatan Cidahu, saat sejumlah warga menerobos masuk ke rumah singgah tersebut. Menurut Iptu Hartono, Kabag Reskrim Polres Sukabumi, pihaknya telah mengamankan tujuh orang yang diduga sebagai pelaku aksi perusakan.
Meskipun perusakan berlangsung, pihak yang terlibat menegaskan bahwa rumah tersebut tidak pernah digunakan untuk ibadah dan hanya untuk kegiatan retret pelajar Kristen. Kesalahpahaman mengenai penggunaan rumah singgah ini menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden tersebut.
Kepolisian pun bertindak cepat dengan melakukan penangkapan, dengan Iptu Hartono mengungkapkan, ‘Tadi malam sudah ada yang diamankan, tujuh orang,’ melalui pesan tertulisnya.
Respon Gubernur dan Pemerintah
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memberikan penjelasan mengenai penetapan tersangka melalui akun media sosialnya. Dalam video yang diunggah, ia menyoroti pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
‘Kita kawal dan saya minta masyarakat untuk kembali hidup tenang, tenteram, saling menghargai, serta saling menghormati,’ ujarnya, menegaskan dukungannya terhadap penegakan hukum di daerah tersebut.
Dedi juga berharap proses hukum bisa berjalan lancar dan masyarakat tidak terpecah belah akibat insiden ini, melainkan kembali bersatu.
Tindakan Kementerian Hukum dan HAM
Menteri Kementerian Hukum dan HAM, Natalius Pigai, menyampaikan bahwa kementeriannya akan segera menurunkan tim untuk menangani kasus tersebut. Ia menekankan, ‘Saya sudah menugaskan staf di Kanwil Jawa Barat agar segera turun untuk melakukan penanganan kasus pembubaran retret ini.’
Pigai menyatakan bahwa kekerasan pada aktivitas keagamaan adalah pelanggaran hak asasi manusia. ‘Itu adalah bagian hak asasi manusia yang dijamin oleh negara dan karena itu setiap tindakan intimidasi apalagi kekerasan dengan membubarkan secara paksa tidak bisa dibenarkan,’ tambahnya.
Pernyataan tersebut mencerminkan komitmen pemerintah untuk menghormati kebebasan beragama yang diatur dalam konstitusi, serta mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.