Peningkatan Kesadaran terhadap 'Brain Rot' di Era Media Sosial

Peningkatan Kesadaran terhadap ‘Brain Rot’ di Era Media Sosial

Fenomena ‘brain rot’ atau pembusukan otak semakin mendapatkan perhatian dari para ahli kesehatan, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Dengan semakin banyaknya waktu yang dihabiskan untuk konten sepele di media sosial, dampak negatif terhadap kesehatan mental menjadi semakin nyata.

Apa Itu Brain Rot?

Istilah ‘brain rot’ menggambarkan kerusakan mental yang terjadi akibat konsumsi konten yang tidak menantang. Istilah ini diangkat sebagai Oxford Word of the Year pada tahun 2024 untuk menyoroti dampak negatif dari media sosial terhadap kesehatan mental.

Costantino Iadecola, Ketua Feil Family Brain and Mind Research Institute, menjelaskan bahwa perkembangan otak anak memerlukan keragaman pengalaman. ‘Masalah utamanya berkaitan dengan anak-anak karena perkembangan otak membutuhkan keragaman paparan,’ jelasnya.

Dampak dari brain rot dapat mengakibatkan perubahan fungsi kognitif, termasuk gangguan memori jangka pendek dan penurunan rentang perhatian. Gejala ini sering kali diidentifikasi oleh individu yang merasakan efek mirip kelelahan.

Gejala Brain Rot dan Risikonya

Beberapa gejala yang umum terkait dengan brain rot meliputi kabut otak, kelelahan mental, dan impulsif yang berlebihan. Marci Cottingham, profesor madya sosiologi, mencatat bahwa banyak orang merasakan dampak setelah berjam-jam menggunakan platform media sosial seperti TikTok.

‘Orang-orang dapat membicarakan (kerusakan otak) dalam konteks seperti, ‘Oh, konten itu sangat buruk. Saya tidak percaya Anda menontonnya karena itu akan merusak otak Anda,’ ungkap Cottingham.

Penelitian yang dipublikasikan di Brain Sciences menunjukkan adanya korelasi antara penggunaan waktu layar yang berlebihan dengan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Strategi Mengurangi Risiko Brain Rot

Untuk mengurangi risiko brain rot, masyarakat disarankan untuk mengatur dan memantau waktu penggunaan layar. Iadecola merekomendasikan alternatif lebih konstruktif, seperti kegiatan non-digital.

BACA JUGA:  Lonjakan Kasus Sifilis di Kalangan Remaja Indonesia Mencapai 2.191 Kasus pada 2024

‘Sertakan aktivitas nondigital, seperti menghabiskan waktu di luar ruangan, menulis, dan bermain musik,’ sarannya, dengan harapan dapat meningkatkan kesehatan mental dan kreativitas.

Dewasa juga disarankan untuk mencatat waktu layar dan mengganti kebiasaan kurang produktif dengan membaca buku, yang dianggap sebagai ‘anti-internet.’

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *