Bulan Muharram menandai awal tahun dalam kalender Hijriyah, yang dianggap penting bagi umat Islam. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah menjadi landasan penetapan tahun baru Islam tersebut.
Asal Usul Penanggalan Hijriyah
Penetapan kalender Hijriyah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq, ketika umat Islam belum memiliki sistem penanggalan yang jelas. Sebelumnya, mereka masih bergantung pada penanggalan Masehi untuk menghitung hari.
Menurut Ust Dr.H. Andi Darmawangsa, kebutuhan akan sistem penanggalan baru muncul ketika gubernur Mesir, Abu Musa Al-Asy-‘Ari, mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Al-Khattab tanpa mencantumkan tanggal. Situasi ini menyebabkan Umar bermusyawarah dengan para sahabat untuk membahas perlunya kalender Hijriyah.
Usulan para Sahabat
Di tengah pembahasan, berbagai pendapat muncul mengenai tanggal awal tahun baru Islam. Beberapa sahabat mengusulkan untuk menggunakan penetapan dari terutusnya Nabi Muhammad SAW, bulan Ramadan, atau bulan Muharram sebagai dasar penentuan kalender.
Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Nabi, mengusulkan agar tahun baru dihitung sejak hijrahnya Nabi ke Madinah. Pendapat ini dianggap lebih rasional dan memiliki nilai historis yang kuat dalam konteks perjalanan Nabi.
Penerimaan Kalender Hijriyah
Debat mengenai awal bulan Hijriyah terus berlangsung hingga Usman bin Affan mengusulkan bahwa awal bulan dimulai dari bulan Muharram. Usulan ini diterima oleh komunitas Muslim karena bulan Muharram merupakan bulan suci yang menandai akhir ibadah haji.
Keputusan ini disepakati oleh Khalifah dan umat Islam, sehingga kalender Hijriyah diakui sebagai identitas umat Islam di seluruh dunia. Hal ini menandai perbedaan mencolok antara penanggalan Hijriyah dan kalender Masehi yang digunakan secara umum.