Ketegangan di Timur Tengah semakin memanas setelah Iran mengancam menutup Selat Hormuz sebagai reaksi atas serangan Amerika Serikat terhadap situs nuklirnya. Ancaman ini berpotensi mengguncang pasar energi global dan berdampak besar bagi negara-negara pengimpor minyak utama di dunia.
India, China, dan Jepang menjadi negara yang paling terancam jika langkah tersebut benar-benar dilakukan. Ketiga negara ini sangat bergantung pada pasokan minyak yang melintasi jalur strategis tersebut.
India: Posisi Rentan dalam Krisis Energi
Sebagai salah satu importir minyak terbesar di dunia, India sangat bergantung pada pasokan minyak dari luar negeri. Sekitar 85% kebutuhan minyaknya diimpor, dengan lebih dari 60% berasal dari kawasan Teluk yang melewati Selat Hormuz.
Penutupan Selat Hormuz akan menyebabkan lonjakan harga minyak domestik, inflasi, dan tekanan fiskal yang signifikan. “Jika pasokan energi terganggu bahkan hanya seminggu, sektor penerbangan dan manufaktur India bisa lumpuh,” tulis The Hindu Business Line dalam laporannya.
Situasi ini akan semakin parah mengingat India tidak memiliki cadangan minyak strategis yang cukup untuk bertahan dalam situasi krisis energi lebih dari 30 hari.
China: Menyikapi Krisis Energi yang Menghantui
China, yang juga merupakan salah satu negara dengan kemampuan nuklir, merupakan importir minyak dengan konsumsi harian lebih dari 14 juta barel. Sekitar 42% pasokan minyaknya datang dari kawasan Teluk, melewati Selat Hormuz.
Penutupan Selat Hormuz akan memicu krisis pasokan energi, lonjakan harga, hingga gangguan rantai pasok global. “Gangguan lebih dari 2 minggu dapat memaksa Beijing mengambil kebijakan ekstrem,” ungkap laporan South China Morning Post.
Ketegangan sosial juga dikhawatirkan muncul saat konsumsi listrik meningkat di musim panas, sementara sektor industri yang bergantung pada energi terancam terhenti.
Jepang: Terjebak tanpa Sumber Daya
Jepang, yang hampir sepenuhnya bergantung pada impor energi, sangat rentan jika Selat Hormuz ditutup. Lebih dari 90% pasokan minyaknya berasal dari Timur Tengah, dan seluruh pasokan tersebut melewati selat ini.
Potensi pemadaman listrik nasional menjadi salah satu risiko utama, di samping dampak terhadap industri otomotif dan manufaktur. “Selat Hormuz adalah nadi kehidupan ekonomi Jepang,” kata laporan analisis dari Nikkei Asia.
Jepang bahkan dapat mengalami protes sosial akibat kenaikan tajam harga bahan bakar, yang dapat mempengaruhi perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota dan Sony karena gangguan dalam logistik.
Dampak pada Amerika Serikat dan Negara Arab
Amerika Serikat kemungkinan akan merasakan dampak dari penutupan Selat Hormuz, namun tidak sebesar negara-negara tersebut. Sebagai net-exporter energi, AS memiliki cadangan minyak besar yang dapat membantu meredam dampak minim ketika harga minyak global melonjak.
Sementara itu, negara-negara Arab Teluk, seperti Saudi dan UEA, mungkin akan menderita akibat anjloknya pendapatan akibat penghambatan ekspor minyak. Pendapatan negara-negara ini sangat bergantung pada penjualan minyak mentah, dan anggaran mereka terancam runtuh.
Walaupun ada jalur pipa alternatif, seperti Petroline dari Arab Saudi dan pipa Habshan-Fujairah dari UEA, kapasitasnya masih jauh dari mencukupi untuk menutupi kebutuhan ekspor normal.