Kebijakan Deportasi Mendadak Pemerintahan Trump: Kontroversi dan Implikasi

Kebijakan Deportasi Mendadak Pemerintahan Trump: Kontroversi dan Implikasi

Pemerintahan Presiden Donald Trump baru saja mengeluarkan kebijakan kontroversial yang memungkinkan deportasi migran dalam waktu enam jam. Kebijakan baru ini mempermudah otoritas Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE) untuk mendeportasi migran ke negara ketiga tanpa proses hukum tambahan.

Sebelumnya, ICE memberikan waktu 24 jam bagi migran untuk berkonsultasi dengan pengacara sebelum deportasi, namun dengan memo terbaru yang ditandatangani oleh Penjabat Direktur ICE Todd Lyons pada 9 Juli, ada potensi percepatan deportasi besar-besaran di AS.

Kebijakan Deportasi Mendadak

Dalam memo yang dipublikasikan, disebutkan bahwa migran dapat dideportasi setelah diberi informasi mengenai hak mereka untuk berkonsultasi dengan pengacara dalam ‘keadaan mendesak’. Washington Post melaporkan bahwa ‘memo ini menunjukkan bagaimana pemerintahan Trump bersiap memperluas jangkauan deportasi ke berbagai negara, bahkan yang tidak memiliki hubungan erat dengan migran.’

Langkah ini diambil setelah Mahkamah Agung AS mencabut larangan deportasi ke negara ketiga dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia. Baru-baru ini, delapan migran dari negara-negara seperti Kuba, Laos, dan Vietnam telah dipindahkan ke Sudan Selatan.

Pemerintah AS juga telah meminta lima negara Afrika untuk menerima migran yang dideportasi, dengan harapan bahwa negara tersebut tidak akan melakukan penyiksaan atau penganiayaan terhadap mereka. Hal ini membangkitkan kekhawatiran mengenai perlindungan hak asasi manusia yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Tantangan Hukum dan Reaksi Publik

Kritik keras datang dari berbagai kalangan, termasuk Trina Realmuto, seorang pengacara dari Aliansi Litigasi Imigrasi Nasional, yang mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan ‘risiko serius bagi keselamatan dan kehidupan para migran.’ Dia mewakili sekelompok migran yang menggugat kebijakan deportasi kilat ini melalui gugatan class action.

Advokat imigrasi menilai bahwa kebijakan ini sangat tidak manusiawi, terutama karena banyak migran yang tidak memiliki ikatan sosial, budaya, atau bahasa di negara tuan rumah baru mereka. Di sisi lain, pemerintah berpendapat bahwa tindakan ini dimaksudkan untuk mempercepat pemindahan migran tanpa izin tinggal atau catatan kriminal.

BACA JUGA:  Polisi Tangkap 13 Tersangka Penjualan Bayi Internasional di Jawa Barat

Selama masa jabatan pertamanya, Trump juga menerapkan kebijakan serupa dengan mengirim migran dari El Salvador dan Honduras ke Guatemala. Konteks yang berbeda terlihat pada pemerintahan Joe Biden yang memiliki kesepakatan dengan Meksiko untuk menerima migran dari negara-negara yang sulit dipulangkan secara langsung.

Kasus Kilmar Abrego Garcia

Memo ICE terbaru ini juga digunakan dalam kasus hukum Kilmar Abrego Garcia, seorang penduduk Maryland yang dideportasi secara salah ke El Salvador. Kasus ini memberi gambaran jelas tentang risiko yang mengintai individu-individu yang terkena dampak dari kebijakan baru ini.

Masyarakat semakin mengkhawatirkan dampak dari kebijakan ini terhadap jutaan migran yang berada di AS. Pertanyaan yang muncul adalah apakah langkah ini akan memberikan solusi yang tepat atau justru memperburuk situasi yang ada bagi komunitas migran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *